Search This Blog

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V

(KODE : PTK-0065) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SD KELAS V)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sudah tidak diragukan lagi, megingat bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Negara Republik Indonesia, juga sebagai bahasa pemersatu di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari dari mulai anak usia dini sampai orang dewasa.
Kesadaran akan pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah menuntut guru untuk lebih memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu di negeri sendiri dan lebih mempopulerkan bahasa Indonesia dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa sehari-hari.
Untuk itu, pemerintah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) memberikan standar kemampuan yang harus dicapai oleh siswa dari mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah ke atas, kemudian dapat dikembangkan oleh guru untuk lebih meningkatkan keterampilan berbahasa siswa.
Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), membaca, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa untuk pembelajaran bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada performansi berbahasa daripada sekedar memiliki pengetahuan tentang kebahasaan, yakni berupa unjuk kerja mempergunakan bahasa dalam konteks tertentu sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa.
Tarigan (1983:1) mengungkapkan keterampilan berbahasa dalam bahasa Indonesia meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut disebut juga sebagai "catur tunggal" keterampilan berbahasa, karena keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan tidak bisa dilepaskan, namun berbeda antara satu dengan yang lainnya dan juga berbeda dari segi prosesnya.
Pelajaran bahasa Indonesia dewasa ini ditujukan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis. Dengan kata lain, secara pragmatis-komunikatif bahasa Indonesia lebih merupakan suatu bentuk performansi daripada sebagai suatu sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang ilmu atau pengetahuan kebahasaan.
Namun kenyataan di lapangan, kemampuan berbahasa Indonesia terutama keterampilan berbicara siswa sekolah dasar, tepatnya siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y masih rendah. Hal ini dilihat dari masih rendahnya nilai bahasa Indonesia siswa (sekitar 71 % siswa yang memperoleh nilai bahasa Indonesia di bawah KKM), siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Sunda), malu untuk berbicara di depan kelas, dan materi pembicaraan yang belum dikuasai siswa.
Tampak pada saat pembelajaran berlangsung, siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru tidak berani mengajukan pertanyaan apalagi mengeluarkan pendapat. Ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau berkomentar siswa hanya diam, tidak jelas sudah mengerti atau belum. Tidak hanya itu, ketika siswa diminta untuk menceritakan pengalaman pribadi di depan kelas, masih tampak kesulitan, bahkan ada siswa yang sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun saat diminta untuk bercerita di depan kelas.
Hal ini menjadi suatu acuan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dalam hal ini kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y agar anak memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga siswa memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide, pikiran, pendapat serta mudah dalam mengkomunikasikan perasaan maupun pengalaman pribadi. Selain itu, Siswa diharapkan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia terutama dalam keterampilan berbicara. Salah satunya melalui bercerita. Bercerita dianggap cocok diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan alasan :
1. Bercerita memberikan pengalaman psikologis dan linguistik pada siswa sesuai minat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa sekaligus menyenangkan bagi siswa,
2. Bercerita dapat mengembangkan potensi kemampuan berbahasa siswa melalui pendengaran kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan siswa dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan,
3. Bercerita merupakan kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan,
4. Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan dan pengalaman,
5. Siswa aktif.
Seperti yang diungkapkan Susilawani, D. (2009) manfaat bercerita meliputi : menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa, meningkatkan kemampuan komunikasi verbal, meningkat kemampuan mendengar, mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu, menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang, mempererat ikatan batin orang tua dan anak, meningkatkan kecerdasan emosional, dan alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian.
Mengingat begitu pentingnya keterampilan berbicara sebagai salah satu kemampuan dalam gagasan atau pesan secara lisan serta masih rendahnya kemampuan berbahasa siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y terutama dalam aspek berbicara, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul "Upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y" (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: "Bagaimanakah upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y? (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y)
Untuk memperjelas masalah, maka permasalahan di atas dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?
2. Apakah teknik bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?
3. Hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran secara umum tentang teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran secara umum mengenai persiapan dan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y
2. Mengetahui hasil yang diperoleh dari teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y
3. Mengetahui hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.

D. Manfat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Guru
Memberikan kajian dan informasi tentang teknik bercerita untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa sehingga pembelajaran bahasa Indonesia dapat lebih menyenangkan dan bermakna serta kualitas pembelajaran bahasa Indonesia lebih meningkat.
2. Siswa
Memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa sehingga siswa memiliki wawasan, dapat tampil lebih percaya diri, terutama keterampilan berbicara siswa lebih meningkat.
3. Peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang relevan terhadap variabel-variabel yang belum tersentuh dalam penelitian ini

E. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami konsep-konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini, berikut dijelaskan konsep-konsep utama tersebut.
1. Keterampilan berbicara
Keterampilan berbicara dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan Berbicara, meliputi pelafalan dan intonasi, pilihan kata/kosa kata, dan struktur kata. Isi cerita, meliputi hubungan isi cerita dengan topik, struktur isi cerita dan kualitas isi cerita. Penampilan, meliputi gerak-gerik & mimik, dan volume suara.
2. Teknik bercerita
Teknik bercerita dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan anak menceritakan pengalaman/kejadian dengan urut, menceritakan kembali isi buku cerita secara urut, dan bercerita tentang gambar dengan urut dan bahasa yang jelas.

F. Hipotesis Tindakan
Melalui teknik bercerita diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Reaserch dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengurupulan data yang penulis gunakan adalah tes lisan dan observasi.
SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN

(KODE : PTK-0064) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SMP KELAS VII)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), standar kompetensi bahan kajian bahasa Indonesia diarahkan kepada penguasaan empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini menjadi faktor pendukung dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pendapat, baik secara lisan maupun secara tertulis, sesuai dengan konteks komunikasi yang harus dikuasai oleh pemakai bahasa.
Keterampilan menulis merupakan kemampuan yang paling sulit untuk dikuasai siswa dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Selain itu, pembelajaran keterampilan menulis tampaknya belum menggembirakan. Salah satu realitas konkret yang mendukung pernyataan tersebut adalah kondisi pembelajaran keterampilan menulis di kelas SMP Negeri X. Berdasarkan pengalaman guru peneliti dan hasil observasi terhadap keadaan pembelajaran menulis di sekolah tersebut serta wawancara awal yang dilakukan dengan sejumlah guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa motivasi dan kemampuan menulis, termasuk menulis karangan narasi siswa masih sangat rendah yang ditandai siswa sering merasa jenuh jika disuruh mengarang, tidak ada siswa yang mempunyai kemampuan yang menonjol dalam pembelajaran mengarang, dan hasil karangan narasi siswa sangat memperihatinkan yang dibuktikan dengan hasil tes mengarang siswa yang hanya sekitar 40% siswa mencapai target standar presentase 7,0, karangan narasi siswa masih agak singkat (rata-rata V2 halaman), ide atau gagasan siswa kurang berkembang, kosakata yang digunakan sederhana dan terbatas, penggunaan kalimat dan organisasi tulisan narasi masih kurang terarah.
Fenomena lain yang tampak berdasarkan observasi awal di sekolah SMP N X yang diteliti adalah sistem pembelajaran menulis yang diterapkan oleh guru cenderung monoton (didominasi oleh penggunaan metode ceramah), pembelajaran dengan sistem klasikal yang mengarah pada komunikasi satu arah (guru -> siswa), dan lebih berorientasi penghafalan materi pembelajaran.
Masalah yang timbul dalam proses pembelajaran menulis serta kemampuan siswa dalam menulis/mengarang yang belum memadai (masih rendah) sebagaimana uraian tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: faktor siswa dan faktor strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara lain: (1) motivasi siswa dalam menulis sangat minim; (2) konsep atau bahan yang dimiliki siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; (3) kemampuan siswa menafsirkan fakta untuk ditulis sangat rendah; (4) kemampuan siswa menuangkan gagasan atau pikiran ke dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara lain: (1) pokok bahasan menulis tidak memperoleh perhatian serius dari guru; (2) sarana dan metode atau strategi pembelajaran menulis belum efektif; (3) kurangnya hubungan komunikatif antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa lainnya sehingga proses interaksi menjadi vakum. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran menulis.
Kompetensi siswa dalam menulis karangan narasi dapat ditingkatkan dengan membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum, menulis merupakan suatu proses sekaligus suatu produk/hasil. Menulis sebagai suatu proses berupa pengelolaan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Kemampuan menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat dipikirkan dengan bahasa tulisan.
Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini menuntut perlatihan yang cukup dan teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam proses belajar menulis (mengarang), berbagai kemampuan itu tidak mungkin dikuasai siswa secara serentak. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu proses, setahap demi setahap. Karena kemampuan itu tidak bisa dikuasai secara serentak, untuk mempermudah mempelajarinya perlu dibuat skala prioritas. Penentuan prioritas ini diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dasar untuk memulai belajar menulis. Sebagai strategi dasar, perioritas yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa suatu rangkaian kemampuan yang mengarah pada terbentuknya sebuah tulisan.
Karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman, pengamatan, imajinasi, pendapat, dan keyakinan dengan menggunakan media tulis sebagai alatnya. Menyusun sebuah karangan bukanlah hal yang mudah. Adakalanya siswa memiliki pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas, namun sangat susah menuangkannya dalam bentuk tertulis. Siswa kadang tidak mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah paragraf, apalagi wacana. Siswa kadang kurang menyadari hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Akhirnya, sering ditemukan beberapa kalimat sumbang. Kalimat sumbang dalam sebuah paragraf dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi sebuah karangan. Sebaliknya, sebuah karangan akan lebih mudah dipahami jika kalimat-kalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antara kalimatnya.
Sebuah tulisan pada dasarnya merupakan perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis berdasarkan avidensi yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai ide dasar untuk dikembangkan menjadi tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran atau gagasannya secara cermat ke dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk menuntun siswa mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau peristiwa yang pernah dialami siswa.
Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa mencermati suatu bentuk teks dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks wawancara menjadi karangan narasi . Hal itu merupakan salah satu kompetensi dasar menulis yang diharapkan dan dimiliki oleh siswa kelas VII SMP sebagai hasil dari pembelajaran menulis, yaitu kemampuan mengubah jenis tulisan (wacana) yang satu ke jenis tulisan (wacana) yang lain, termasuk pengubahan teks wawancara yang berbentuk dialog ke dalam bentuk wacana yang berbentuk monolog, seperti karangan narasi .
Wawancara dengan narasumber merupakan salah satu sumber informasi yang aktual. Mewawancarai seseorang merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi sebagai bahan tulisan. Hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk paragraf-paragraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh.
Keberhasilan pembelajaran menulis karangan narasi juga ditentukan oleh faktor lingkungan dan iklim pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran faktor lingkungan dan iklim pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika diciptakan belajar alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Hal ini dikemukakan pula oleh Iis Handayani (2007:2) dalam skripsinya yang berjudul Pembelajaran Karangan Narasi Sugestif dengan Strategi Field-Trip (karyawisata) berdasarkan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2006/2007 menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan di SMPN 1 Lembang masih banyak siswa yang belum menguasai ke empat keterampilan berbahasa terutama keterampilan menulis. Siswa merasakan kesulitan menuangkan ide-ide karena keterbatasan penguasaan kosakata siswa juga merasakan situasi pembelajaran menulis yang membosankan. Pembelajaran menulis yang sering diterapkan pada siswa sekadar teori saja dan selalu terfokus di dalam kelas. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mau berlatih dan malas menulis.
Ike Febrika (2009:1) dalam skripsinya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Menggunakan Metode Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa kelas VII SMP N 12 Bandung Tahun Ajaran 2008/2009) menunjukkan bahwa siswa pada umumnya kurang menguasai bahkan tidak tahu sama sekali tentang karangan narasi. Siswa masih bingung membedakan berbagai jenis karangan. Untuk memulai menulis pun siswa masih kesulitan. Banyak alasan yang muncul mulai dari menemukan ide sampai bingung harus memulai tulisan dari mana.
I ketut Adnyana Putra dalam jurnal Pendidikan dan Pengajaran (2003:73) menyatakan bahwa penggunaan media, lebih-lebih media gambar berseri dalam pembelajaran keterampilan menulis narasi, akan dapat memotivasi siswa dalam proses pembelajaran. Sebagaimana yang dinyatakan Gagne (1988), gambar-gambar bisa memberikan motivasi belajar, walaupun bukan satu-satunya. Sejalam dengan pernyataan tersebut, Wright (1992) mengatakan bahwa gambar memiliki beberapa peran di dalam keterampilan seperti dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadap konteks bahasa yang digunakan, dapat digunakan untuk menjelaskan secara objektif atau menginterpretasikan, dan dapat memberikan informasi.
Syukur Heryasumirat dalam jurnal yang berjudul upaya peningkatan keterampilan Menulis Narasi Melalui Metode Kerja Kelompok Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Di kelas x TKJ2 smk negeri i cibinong kabupaten bogor menyatakan Salah satu metode pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa adalah dengan menerapkan metode kerja kelompok dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di SMKN I Cibinong Kabupaten Bogor dengan waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009. Penggunaan metode pembelajaran dan penjelasan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Bimbingan dan pemberian contoh mendorong siswa lebih aktif dalam belajar. Keberanian siswa dalam menjawab soal dan latihan-latihan.
Pendekatan kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masyarakat belajar (learning community) yang menganggap bahwa siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tesebut dengan temannya. Hal ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis karangan narasi . Hasil pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Berdasarkan permasalahan di atas peneliti bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VII-L SMP Negeri X)

1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian adalah titik tolak yang penting agar hendak dikajinya memperoleh sasaran yang tepat dan terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Adapun perumusan masalah yang penulis ambil diantaranya sebagai berikut.
1) Bagaimana perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?
2) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?
3) Bagaimana hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?

1.3 Pemecahan Masalah
Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian adalah penerapan metode curah gagasan yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tahap 1, guru memberi pemahaman awal kepada siswa tentang cara melakukan wawancara/mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali hal-hal yang pernah dialami siswa lain, lalu mengubah hasil tanya jawab (dialog) tersebut menjadi bentuk monolog yang bersifat narasi.
b. Tahap 2, siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, tetapi diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. Alternatif tindakan untuk tahap ini adalah siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, yaitu "tokoh idola", lalu bersama-sama melakukan curah gagasan (Brainstorming) untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara.
c. Tahap 3, setiap siswa dalam setiap kelompok membuat karangan narasi dengan mengembangkan teks hasil wawancara yang telah dibuatnya. Jika dianggap informasi yang diperoleh belum lengkap, siswa dapat bertanya kepada narasumbernya.
d. Tahap 4, karangan siswa dipertukarkan untuk dinilai atau dikoreksi oleh teman sekelompoknya dengan menggunakan pedoman penilaian karangan narasi, lalu karangan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya untuk disempurnakan.
e. Tahap 5 setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan memilih karya yang dianggap terbaik dengan aturan:
1) kelompok pada baris bangku I mengunjungi kelompok pada baris III;
2) kelompok pada baris bangku II mengunjungi kelompok pada baris IV;
3) kelompok pada baris bangku III mengunjungi kelompok pada baris II;
4) kelompok pada baris bangku IV mengunjungi kelompok pada baris I
f. Tahap 6, pemberian penghargaan terhadap karya siswa yang terbaik.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
2) Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
3) Mendeskripsikan hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
1.4.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut :
a. Manfaat teoretis, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori yang telah ada yaitu metode curah gagasan.
b. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan atau pengalaman dalam melakukan penelitian tindakan kelas, khususnya yang terkait dengan cara meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X dengan metode curah gagasan.
c. Bagi guru, sebagai bahan masukan tentang cara menerapkan curah gagasan untuk meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X.
d. Bagi siswa, yaitu melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, inovatif; meningkatkan motivasi dan rasa kesetiakawanan sosial siswa; menumbuhkan kebiasaan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis.

1.5 Definisi Operasional
Agar tidak menimbulkan kesalahan dalam penafsiran judul penelitian dan rumusan masalah, maka penulis membuat definisi operasional yang merupakan penjelasan dari istilah-istilah yang terdapat di dalam judul dan rumusan masalah penelitian ini.
Definisi operasional istilah-istilah judul rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1) Peningkatan kompetensi menulis adalah proses atau cara untuk meningkatkan salah satu berbahasa khususnya menulis.
2) Karangan Narasi faktual adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan sesuatu peristiwa atau kejadian sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh para pembaca.
3) Metode Curah Gagasan (Brainstorming) adalah suatu metode untuk melahirkan ide dengan cara siswa diminta untuk memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan dengan topik yang menjadi sumber untuk dijadikan petunjuk ketika mengembangkan kalimat atau paragraf.
SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

(KODE : PTK-0063) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (MATA PELAJARAN : SEJARAH) – (SMA KELAS XI)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya sadar dan terencana dari manusia untuk mengenyam ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya seperti keterampilan dan pengetahuan berfikirnya. Pendidikan merupakan modal dasar bagi manusia untuk menjalani berbagai aktivitas yang bermanfaaat dalam kehidupannya. Selain itu sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan negara memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Supaya pembangunan bangsa semakin meningkat, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik pula untuk menunjang pelaksanaannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah peningkatan mutu pendidikan, baik prestasi belajar siswa maupun kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.
Sejarah merupakan pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Depdiknas, 2003 : 1). Lebih lanjut Ismaun (2001 : 114) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah agar peserta didik mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah.
Berdasarkan pernyataan di atas, mata pelajaran sejarah memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk pemahaman, kesadaran dan wawasan sejarah sehingga siswa dapat menyikapi masalah dalam kehidupannya dengan bijak. Oleh karena peranan mata pelajaran sejarah di sekolah sangat penting, sehingga diharapkan dapat menjadi suatu mata pelajaran yang menarik karena mengajarkan kepada siswa berbagai peristiwa yang dialami oleh manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga siswa dapat merasakan perubahan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan. Akan tetapi pada kenyataannya di sekolah tidak demikian. Masalah dalam mata pelajaran sejarah adalah sejarah dianggap pelajaran yang membosankan. Akibat dari anggapan bahwa pelajaran sejarah itu membosankan menyebabkan siswa merasa tidak senang terhadap mata pelajaran sejarah. Oleh sebab itu sejarah dianggap sebagai mata pelajaran yang sepele, maka guru sejarah hendaknya mampu mengubah paradigma siswa yang mengganggap sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap membosankan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan.
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian mengenai pendapat siswa tentang pelajaran sejarah, banyak siswa yang mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah membosankan dan menjenuhkan, karena materinya terlalu menekankan pada hal-hal yang faktual seperti angka tahun, nama tokoh, nama peristiwa, dan tempat di mana suatu peristiwa terjadi. Penyampaian materi yang tidak berkorelasi akan menambah kejenuhan siswa dalam menerima materi pelajaran sejarah.
Berbagai perlakuan dapat dilakukan siswa berkaitan dengan keberadaan pengajaran yang masih banyak dilakukan secara konvensional (pembelajaran terpusat pada guru). Perasaan jenuh yang dialami siswa dengan pembelajaran seperti itu mengurangi konsentrasi belajar siswa dan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang dapat menghilangkan kejenuhan tersebut, seperti mengobrol di kelas, melamun, mengerjakan tugas mata pelajaran selain sejarah bahkan sengaja tidur di kelas.
Dalam Kurikulum tahun 2006, para guru dituntut untuk melibatkan siswa secara aktif sebagai subjek pembelajaran. Strategi yang sering digunakan untuk mengaktifkan siswa yaitu dengan melibatkan siswa dalam diskusi di kelas. Akan tetapi terkadang diskusi ini kurang efektif walaupun guru sudah berusaha mendorong siswa agar ikut berpartisipasi aktif dalam proses diskusi. Banyak guru mengeluhkan bahwa hasil belajar dengan diskusi tidak seperti yang mereka harapkan. Para siswa bukannya memanfaatkan kegiatan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka, akan tetapi kebanyakan dari mereka bermain, bergurau dan sebagainya.
Keadaan di atas memberikan dampak yang sangat besar terhadap prestasi belajar dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah. Berdasarkan hasil ujian dengan nilai kriteria kelulusan minimum 65, hanya 30% yang dinyatakan lulus dari jumlah siswa sebanyak 36.
Melihat kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa kurang terampil dalam menjawab pertanyaan atau bertanya tentang konsep dan materi yang diajarkan.
Siswa kurang bisa bekerjasama dalam kelompok diskusi sehingga kurang bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. Mereka cenderung belajar sendiri-sendiri.
Hasil pengamatan di lapangan selama peneliti PPL di SMA X, menunjukkan bahwa siswa kelas XI IPS I dalam proses pembelajaran di kelas lebih banyak dilakukan secara individual, pola hubungan yang terjadi antar siswa diwarnai atas dasar kegiatan belajar individual. Padahal belajar tidak harus merupakan suatu kegiatan individual, walaupun sekilas sistem belajar individual memberikan kesan positif untuk membentuk daya saing yang tinggi untuk kehidupan di masa mendatang. Hasan (1996 : 8) menjelaskan :
"Realita yang ditunjukkan di masyarakat membuktikan bahwa setiap individu terlibat kerjasama dengan individu lain dalam suatu sistem. Persaingan yang terjadi antar individu hanyalah sebatas sistem itu, sementara keberhasilan dalam sistem tadi lebih memberikan kesempatan dan jaminan akan keberhasilan individu dan anggotanya".
Johnson dan Smith dalam (Lie, 2007 : 5) mengemukakan bahwa pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Maksud dari pernyataan tersebut adalah kegiatan pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain menjalin komunikasi dan membangun pengetahuan bersama.
Berpijak dari pendapat di atas, untuk menciptakan interaksi pribadi antar siswa, dan interaksi antar guru dan siswa, maka suasana kelas perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lainnya. Guru perlu menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa bekerjasama secara gotong royong. Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas kerja sama antar siswa serta prestasi belajar siswa adalah metode cooperative learning. Dengan menggunakan metode cooperative learning dapat menyediakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terjadinya interaksi belajar mengajar yang lebih efektif, sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya.
Shounara (2003, 17) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa metode cooperative learning ini dapat diterapkan untuk pembelajaran sejarah di kelas, terutama dalam upaya meningkatkan berpikir kritis siswa. Dijelaskan lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam pembelajaran sejarah di kelas, Shounara menyarankan menggunakan metode cooperative learning dalam kelompok kecil. Melalui metode cooperative learning siswa belajar lebih aktif dibandingkan dengan hanya menerima informasi dari guru saja, dapat terjadi interaksi antar siswa dan siswa dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka.
Sesuai dengan latar belakang dan fokus permasalahan di atas, maka perlu adanya perbaikan dalam sistem pembelajaran di kelas. Untuk itu perlu disusun suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih komprehensif. Atas dasar itu peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran cooperative learning dalam pembelajaran sejarah dengan tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Metode pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berperan aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar, tidak hanya itu siswa juga bisa saling mengajar dengan siswa lainnya. Selain itu metode cooperative learning menanamkan pada siswa bahwa mereka memiliki peranan yang sama untuk mencapai tujuan akhir belajar, penguasaan materi pelajaran dan keberhasilan belajar yang tidak semata-mata dapat ditentukan oleh guru, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Slavin (2009 : 4) mengemukakan bahwa cooperative learning pada dasarnya merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil serta kolaboratif anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur kelompok yang heterogen. Sagala (2005 :216) mengemukakan dampak positif dari belajar kelompok adalah dapat menimbulkan kesadaran akan adanya kompetitif yang sehat, sehingga membangkitkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh. Bahkan Hasan dalam Mabroer (2006 : 13) mengemukakan bahwa Cooperative learning akan menghasilkan "cooperative behaviours and attitudes that contributed to be success and/of failure of these group". Maksud dari pengertian ini adalah bekerjasama menghasilkan sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan/atau kegagalan kelompok tersebut dalam mencapai tujuan belajar.
Aspek lain yang dapat berkembang dalam pelaksanaan metode cooperative learning menurut Stahl dalam Mabroer (2006 : 4) adalah sikap saling tolong menolong dan tolong menolong merupakan salah satu sikap positif dalam perilaku sosial seseorang.
Pembelajaran kooperatif dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa, karena melalui kooperatif siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi tanpa rasa segan. Sesuai yang dikatakan Lie (2007 : 12) bahwa :
"Banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru dikarenakan mereka memiliki schemata yang hampir sama dibandingkan dengan schemata guru..."
Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) merupakan salah satu alternatif yang diterapkan oleh guru kepada siswa dalam pembelajaran. STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkins, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk lebih memperdalam mengenai pengaruh model cooperative learning dengan tipe STAD terhadap hasil belajar siswa menjadi sebuah penelitian. Adapun judul yang peneliti angkat dalam penelitian ini adalah "Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Sejarah (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas XI IPS 1 SMA X)".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : " Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD"

C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran sejarah di kelas sebelum diterapkan metode kooperatif tipe STAD?
2. Bagaimana guru sejarah merencanakan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah?
3. Bagaimana pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah?
4. Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan metode kooperatif tipe STAD?
5. Bagaimana upaya mengatasi kendala yang dihadapi dalam menerapkan metode kooperatif tipe STAD pada pembelajaran sejarah?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
1. Mendeskripsikan mengenai kondisi awal pembelajaran sejarah sebelum metode kooperatif tipe STAD.
2. Mendeskripsikan perencanaan guru sejarah dalam menggunakan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah.
3. Mendeskripsikan pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah.
4. Mendeskripsikan dan mengkaji peningkatan hasil belajar setelah menggunakan tipe STAD dalam mata pelajaran sejarah.
5. Menganalisis kendala dan upaya mengatasinya dalam penerapan tipe STAD pada pembelajaran sejarah.

E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian dikatakan berhasil apabila dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan, khususnya bagi peneliti sendiri dan umumnya bagi yang berkepentingan di bidang pendidikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Guru
Manfaat penelitian ini bagi guru adalah sebagai motivasi guru untuk meningkatkan ketrampilan memilih setrategi pembelajaran yang sesuai dan bervariasi. Guru dapat lebih termotivasi untuk terbiasa mengadakan penelitian sederhana yang bermanfaat bagi perbaikan dalam proses pembelajaran serta meningkatkan kemampuan guru itu sendiri.
2. Bagi Siswa
Manfaat penelitian bagi siswa adalah untuk melatih daya pikir untuk meningkatkan hasil belajar dan aktifitas siswa. Keberanian siswa mengungkapkan ide, pendapat, pertanyaan dan saran meningkat. Menumbuhkan semangat kerjasama antar siswa.
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman yang dapat dijadikan bekal untuk menghadapi tugas di lapangan.

F. Definisi Operasional
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau untuk mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Bukanlah cooperative learning jika siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilakan salah seorang di antaranya untuk menyelesaikan pekerjaan seluruh kelompok.
Salah satu tipe dari metode kooperatif adalah tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut :
1. Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap kelompok mempunyai anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik maupun kemampuannya (prestasinya)
2. Guru menyampaikan materi pelajaran
3. Guru memberikan tugas kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja siswa dan kemudian saling membantu untuk menguasai materi pelajaran yang telah diberikan melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok.
4. Guru memberikan pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab pertanyaan atau kuis dari guru siswa tidak boleh saling membantu.
5. Setiap akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap bahan akademik yang telah dipelajari
6. Tiap siswa dan tiap kelompok diberi skor atas penguasaan terhadap materi pelajaran, dan kepada siswa secara individual atau kelompok yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan.
Hasil belajar adalah evaluasi terhadap nilai pretes dan post test siswa kelas XI IPS I SMA X dalam pembelajaran sejarah. Pada hakikatnya, hasil belajar siswa meliputi tiga aspek yaitu aspek afektif, aspek kognitif dan aspek psikomotor. Dalam penelitian ini peneliti hanya mengukur aspek kognitif saja, artinya peneliti hanya mengukur kemampuan siswa dari nilai pretes dan posttes saja.

G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Bab satu, merupakan pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang berisi pemaparan penulis dalam rangka upaya untuk menuju permasalahan yang akan dikaji yaitu mengenai penerapan metode cooperative learning tipe STAD (Student Teams Achievemens Divisions) dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Agar dalam pembahasannya lebih terfokus maka dirumuskanlah beberapa masalah penelitian beserta tujuan diadakannya penelitian. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan mengenai manfaat penelitian, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab dua, merupakan landasan teoritis yang meliputi pembahasan dari judul penelitian berdasarkan rujukan dari teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian.
Bab tiga, merupakan metodologi penelitian yang meliputi langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Dalam bab ini dipaparkan mengenai pendekatan penelitian, metode dan desain penelitian yang berisi perencanaan pelaksanaan tindakan kelas dan pelaksanaan penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian, serta teknik-teknik yang digunakan dalam pengolahan data.
Bab empat, merupakan pembahasan masalah dan analisis data berdasarkan hasil penelitian dari keseluruhan instrumen penelitian serta keseluruhan tindakan yang telah dilakukan oleh peneliti. Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah. Hasil penelitian diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan metode penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab lima, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil yang telah dilakukan dan saran-saran atau rekomendasi bagi pihak-pihak yang terkait dan bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Kesimpulan menguraikan sintesis dan interpretasi dari hasil penelitian dan pembahasan, sedangkan saran berupa kekurangan-kekurangan yang diperoleh dari hasil penelitian.
SKRIPSI PTK PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DENGAN PENGGUNAAN TEKNIK TEKA-TEKI SILANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

SKRIPSI PTK PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DENGAN PENGGUNAAN TEKNIK TEKA-TEKI SILANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(KODE : PTK-0062) : SKRIPSI PTK PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DENGAN PENGGUNAAN TEKNIK TEKA-TEKI SILANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (MATA PELAJARAN : SEJARAH) – (SMP KELAS VIII)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran merupakan kegiatan yang berproses dan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Maka dari itu pemahaman yang benar mengenai arti pembelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya mutlak diperlukan oleh para pengajar atau pendidik, seperti halnya dikemukakan oleh Said Hamid Hasan (2002:24) berikut ini:
Dalam menentukan cara belajar yang bagaimana, dikatakan guru memang memegang peranan yang menentukan. Dapat dikatakan bahwa cara belajar yang akan dialami oleh siswa sepenuhnya ditentukan oleh pertimbangan professional guru mengenai sifat, tujuan, materi, kemampuan awal siswa (entry behavior), sifat sumber materi dan suasana belajar.
Jika seorang pendidik mampu menguasai dan menentukan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa maka proses belajar mengajar di kelas akan berlangsung dengan baik. Hal tersebut juga akan berdampak baik terhadap hasil belajar yang dicapai siswa. Dengan demikian peranan seorang pendidik (guru) dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar tersebut sangat ditentukan oleh kreativitas guru dalam mengemas suatu mata pelajaran sehingga dapat menarik minat siswa untuk lebih mendalami dan mempelajari mata pelajaran tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di kelas VIII B SMP X. Sebelum melakukan penelitian, penulis malakukan wawancara dengan beberapa orang siswa di kelas VIII B SMP X untuk mengetahui kesan mereka terhadap mata pelajaran sejarah. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa yang kurang tertarik untuk belajar sejarah, sebagian besar siswa mengakui bahwa mereka tidak selalu memperhatikan guru ketika sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar sejarah di kelas. Hal tersebut membuktikan kurangnya motivasi siswa untuk belajar sejarah. Selain mewawancarai beberapa siswa, penulis juga mewawancarai guru mata pelajaran sejarah kelas VIII B SMP X, dari wawancara tersebut diketahui bahwa pada saat pembelajaran berlangsung, masih ada sebagian siswa yang tidak antusias mengikuti kegiatan belajar mengajar sejarah.
Berdasarkan pengamatan peneliti, umumnya banyak siswa lebih tertarik untuk melakukan hal-hal lain selain belajar, seperti mengobrol dengan temannya atau keluar kelas daripada memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Siswa terlihat jenuh dan tidak tertarik untuk belajar. Hal tersebut karena bagi mereka sejarah identik dengan hapalan-hapalan saja, seperti halnya diungkapkan oleh Rochiati Wiriaatmadja (2002:133) dalam kutipan berikut ini:
Banyak siswa yang mengeluh bahwa pelajaran sejarah itu membosankan karena isinya hanya merupakan hafalan saja dari tahun ke tahun, tokoh dan peristiwa sejarah. Segudang informasi dijejelkan begitu saja kepada siswa dan siswa tinggal menghafalkannya diluar kepala. Memang "menghafal" atau "mengingat" adalah salah satu cara belajar seperti halnya menirukan {iminating atau copyng) mencoba-coba dengan trial and error, kadang-kadang juga kita berfikir atau merenungkan apa yang kita lihat dan kita alami dengan hasil yang berbeda-beda.
Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan berdampak buruk terhadap hasil belajar siswa. Jika hasil belajar siswa masih jauh dari yang diharapkan maka hal tersebut membuktikan tujuan pembelajaran sejarah belum dapat diwujudkan. Pembelajaran sejarah dapat dikatakan berhasil apabila adanya perubahan perilaku dan pola pikir yang lebih baik pada siswa. Banyak makna dan nilai-nilai positif yang sesungguhnya terkandung dalam sejarah yang dapat diambil hikmahnya dan dijadikan pedoman dalam manghadapi masalah-masalah, baik yang terjadi di masa kini maupun di masa yang akan datang, seperti halnya diungkapkan oleh Said Hamid Hasan (2000:8) berikut ini:
Pengalaman yang diharapkan ada pada siswa setelah pembelajaran sejarah adalah kemampuan berpikir kritis yang dapat digunakan untuk mengkaji dan memanfaatkan pengetahuan sejarah, keterampilan sejarah dan nilai suatu peristiwa sejarah dalam membina kehidupan memerlukan banyak keputusan kritis, serta terampil dalam memahami berbagai peristiwa sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disekitarnya. Disamping itu kemampuan menyaring nilai-nilai yang ada, memilih dan mengembangkan nilai positif dan menarik pelajaran dari nilai negatif, serta meniru keteladanan dari para pelaku sejarah.
Masalah tersebut merupakan tantangan bagi para guru sejarah untuk mengembangkan keterampilan dan kreatifitasnya, sehingga mampu mengubah kesan negatif siswa terhadap pelajaran sejarah agar siswa dapat memberikan respon yang positif terhadap pelajaran sejarah dan memperoleh hasil belajar yang baik, seperti yang dikemukakan oleh Said Hamid Hasan (1999:2) berikut ini:
Dalam praktek di kelas guru sejarah adalah orang yang harus dapat menjelaskan bahan pelajaran, melatih siswa dalam menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai, menjadi inovator, serta memberi kemudahan untuk berlangsungnya interaksi siswa dengan guru dalam kegiatan belajar mengajar, menghadirkan peristiwa atau kisah masa lalu dihadapan para siswa sebagai kekhasan sejarah dan lain-lain.
Atas dasar hal tersebut, penulis ingin menyumbangkan sebuah gagasan baru dalam teknik pembelajaran sejarah sebagai bagian dari metode pembelajaran, sejarah agar siswa dapat lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajaran sejarah, serta mempermudah siswa untuk menyerap berbagai informasi penting yang terkandung dalam pelajaran sejarah.
Dalam penelitian ini penulis menerapkan penggunaan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Adapun alasan penulis memilih teknik ini adalah, untuk mengurangi rasa jenuh yang dialami siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar sejarah di kelas. Dengan menggunakan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah, siswa akan merasakan suasana yang berbeda ketika sedang belajar sejarah. Siswa tidak lagi hanya duduk, diam dan mendengarkan cerita dari guru saja, tetapi mereka akan dilibatkan dalam sebuah permainan namun permainan tersebut bersifat mendidik, karena selain akan mengasah kemampuan berfikir juga akan mempermudah siswa untuk memahami konsep-konsep yang terkandung dalam mated pelajaran sejarah, seperti juga diungkapkan oleh Suyatno. (2008). Mengajar dengan Teka-Teki Silang (TTS). [Online]. Tersedia: http://www.garduguru.blogspot.com.alm.html/2008. [13 Oktober 2008] cobalah teka-teki silang digunakan untuk pembelajaran di kelas terutama untuk menguatkan pencantolan konsep ke dalam memori.
Di samping itu, dengan menggunakan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah dapat melatih kemandirian siswa dalam menggali informasi mengenai sejarah dari berbagai sumber sehingga siswa akan menjadi lebih aktif dan antusias dalam mengikuti proses pembelajaran sejarah, peningkatan aktifitas belajar tersebut akan berdampak pula pada peningkatan hasil belajar siswa, hal senada diungkapkan oleh Ardy widyarso. (2008). (http://www.smk3ae.wordpress.com.alm.html/16-10-2008) yang menjelaskan bahwa dengan menggunakan teka-teki silang, persentase keterlibatan siswa dalam belajar akan menjadi tinggi, karena guru mencoba membangun pemahaman siswa dari pengalaman belajarnya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Pembelajaran dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan, siswa mencoba menemukan dan mencari, sehingga terjadi perpindahan dari mengamati menjadi memahami, menemukan jawaban dengan berpikir kritis melalui keterampilan belajarnya.

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah "Bagaimana meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang". Secara lebih khusus, fokus permasalahan yang akan diteliti terdapat dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana perencanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
4. Bagaimana hasil belajar dengan menggunakan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pembelajaran sejarah dengan penggunaan teknik teka-teki silang dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.
2. Mengkaji pelaksanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.
3. Menemukan kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang serta upaya-upaya untuk mengatasinya di kelas VIII B SMP X.
4. Mengetahui hasil belajar IPS-sejarah dengan menggunakan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teori, melalui pembelajaran sejarah dengan penggunaan teknik teka-teki silang, diharapkan dapat menggali segala potensi yang dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran sejarah sehingga akan meningkatkan mutu dan efektifitas pembelajaran sejarah di sekolah.
2. Bagi siswa untuk mengembangkan daya pikir siswa dalam memahami pelajaran sejarah dan meningkatkan minat siswa dalam mendalami mata pelajaran sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang.
3. Bagi guru sejarah, dengan penggunaan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah diharapkan dapat memberikan suatu alternatif dalam metode pembelajaran sejarah di kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai dengan baik.
4. Bagi peneliti/dosen, akan berdampak pada pengembangan kualitas diri dan profesionalitas, untuk terus meningkatkan keilmuan, khususnya pengembangan proses pembelajaran dan pendidikan sejarah.
5. Bagi lembaga Universitas Pendidikan Indonesia akan meningkatkan prestasi dan nama baik dengan memberikan sumbangan bagi peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran di tingkat sekolah.
SKRIPSI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR ANAK DISLEKSIA DENGAN PENDEKATAN SAVI PADA BIDANG STUDI PAI DI SDN X

SKRIPSI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR ANAK DISLEKSIA DENGAN PENDEKATAN SAVI PADA BIDANG STUDI PAI DI SDN X

(KODE : PEND-AIS-0059) : SKRIPSI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR ANAK DISLEKSIA DENGAN PENDEKATAN SAVI PADA BIDANG STUDI PAI DI SDN X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi menuntut terciptanya masyarakat yang gemar belajar. Proses belajar yang efektif antara lain dilakukan melalui membaca. Membaca merupakan proses yang kompleks, proses ini melibatkan sejumlah kegiatan fisik dan mental. Masyarakat yang gemar membaca memperoleh pengetahuan dan wawasan baru yang akan semakin meningkat kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masa-masa mendatang.
Belajar membaca bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian anak yang mempunyai kecerdasan (IQ) diatas rata-rata itu adalah mudah, akan tetapi bagi anak yang mempunyai IQ di bawah rata-rata semua itu merupakan hambatan dalam belajar, terutama dalam hal gangguan belajar membaca (Disleksia).
Mengenali dan menangani ganguan membaca pada anak-anak sebenarnya bukanlah persoalan yang tidak bisa dipecahkan, akan tetapi untuk melakukan membutuhkan kesabaran. Para orang tua seharusnya memperhatikan dan mengamati secara cermat untuk bisa memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang memiliki gangguan belajar.
Dalam kehidupan kita di era serba sibuk seperti sekarang ini, waktu barang kali sudah menjadi sebuah komoditas langka yang sulit kita dapatkan. Dampaknya adalah masalah yang sedang dialami oleh anak penderita disklesia akan semakin bertambah buruk. Hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang memiliki waktu untuk memberikan perhatian khusus pada sang anak, maupun dikarenakan orang tua tersebut lebih percaya pada terapi-terapi alternatif tertentu yang menjanjikan hasil-hasil instant tanpa memakan waktu yang lama.
Kebanyakan orang tua menuntut anak agar gemar membaca, tetapi mereka seakan-akan tidak tahu bahwa minat membaca itu tidaklah tumbuh dengan sendirinya. Lingkungan amat berpengaruh dalam memunculkan minat membaca pada anak. Untuk itulah, peran orang tua sejak sedini mungkin amat penting dalam membentuk lingkungan yang mengundang minta membaca pada anak.
Kesulitan dalam hal belajar membaca (disleksia) terjadi pada 5-10% dari seluruh anak di dunia. Gangguan belajar jenis ini pertama kali ditemukan pada akhir abad sembilan belas, ketika itu ia disebut dengan istilah "word blindness" buta huruf. Penyebab disleksia adalah faktor genetik yaitu diturunkan oleh salah satu atau kedua orang tua nak yang menderita.
Beberapa peneliti berhasil menemukan disleksia cenderung dialami oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, penderita disleksia mengalami kesulitan menulis apa yang ia inginkan ke dalam kalimat-kalimat panjang secara akurat.
Demikian pula ketika belajar membaca, pertama kali mereka akan belajar untuk mencoba memahami kosakata dari kalimat-kalimat yang pernah ia dengarkan, kata-kata yang sudah mulai terdengar akrab di telinga inilah yang kemudian akan selalu mereka cocokkan setiap kali mendengar atau menyimak kalimat yang diucapkan oleh seseorang.
Kebanyakan anak mulai belajar membaca ketika berumur lima atau enam tahun. Memang beberapa anak belajar lebih cepat dibandingkan dengan dengan anak-anak lainnya, anak baru bisa dikatakan mengalami kesulitan membaca ketika mereka berusia tujuh atau delapan tahun, karena biasanya pada umur-umur tersebut anak sudah bisa membaca secara mandiri, tanpa bantuan orang lain. Tanda-tanda disleksia tidaklah terlalu sulit apabila pada orang tua dan guru memperhatikan mereka secara cermat. Misalnya, apabila anda memberikan sebuah buku yang tidak mungkin akan membuat cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada di buku tersebut yang mana antara gambar dan ceritanya tidak ada memiliki kaitan.
Dari penjelasan tentang anak yang mengalami gangguan belajar membaca di atas maka di bawah ini akan dijelaskan tentang suatu pendekatan yang digunakan oleh seorang guru agar dapat meningkatkan kemampuan belajar anak disleksia.
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak kesana kemari. Akan tetapi menggabungkan gerakan fisik dengan gerakan aktivitas intelektual dan penggunaan panca indera yang berpengaruh besar pada pembelajaran, pendekatan yang digunakan ini dinamakan pendekatan SAVI. Unsur-unsur dari SAVI, yaitu :
1. Somatic (belajar dengan bergerak dan berbuat)
Belajar somatic berarti belajar dengan indera peraba, kinestis, praktis, melibatkan fisik dan menggunakan serta menggerakkan tubuh sewaktu belajar.
2. Auditori (belajar dengan berbicara dan mendengar)
Pikiran auditori kita lebih kuat daripada yang kita sadari tetapi telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi auditori, bahkan tanpa kita sadari, ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara, beberapa area penting di otak kita menjadi aktif.
3. Visual (belajar mengamati dan menggambarkan)
Pembelajaran visual belajar paling baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta gagasan, ikon, gambar dan gambaran dari segala macam hal ketika mereka sedang belajar.
4. Intelektual (belajar dengan memecahkan masalah dan merenung)
Meier mengatakan intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajaran dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, dan nilai dari pengalaman tersebut.
Keempat cara belajar ini harus ada agar belajar berlangsung optimal, karena unsur-unsurnya terpadu, belajar yang paling baik bisa berlangsung jika semuanya itu digunakan secara simultan.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana upaya meningkatkan kemampuan belajar pada anak disleksia. Maka dari itu, penulis mengadakan penelitian di salah satu sekolah dasar negeri yang sudah menggunakan pendekatan SAVI dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakang tersebut penulis mengangkat judul :
"UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR ANAK DISLEKSIA DENGAN PENDEKATAN SAVI PADA BIDANG STUDI PAI DI SDN X".

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kemampuan anak disleksia di SDN X?
2. Bagaimana pendekatan SAVI dalam proses pembelajaran PAI?
3. Bagaimana upaya meningkatkan kemampuan belajar anak disleksia dengan pendekatan SAVI di SDN X?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang ditulis dalam skripsi ini adalah :
1) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kemampuan anak disleksia di SDN X
2) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pendekatan SAVI dalam proses pembelajaran PAI di SDN X
3) Untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya meningkatkan kemampuan belajar anak disleksia dengan pendekatan SAVI di SDN X.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian in adalah :
1) Manfaat teoritis bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang pendidikan dan dapat menyumbang bangunan khazanah perkembangan ilmu pengetahuan.
2) Manfaat sosial praktis, maksudnya hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan atau masukan bagi semua pihak yang
berkepentingan terutama bagi institusi pendidikan Islam.

D. Definisi Operasional
1. Upaya meningkatkan
Akal, ikhtiyar, daya upaya menaikkan (derajat, taraf, dan sebagainya). Maksudnya adalah usaha meningkatkan kemampuan belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) anak disleksia.
2. Kemampuan belajar
Kesanggupan pada suatu proses aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku, baik berupa pengetahuan, keterampilan kemampuan, maupun sikap pada diri siswa.
3. Anak disleksia
Seorang anak yang menderita gangguan pada penglihatan dan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan saraf pada otak sehingga anak mengalami kesulitan membaca.
4. Pendekatan SAVI
Suatu pendekatan yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual serta penggunaan semua indera yang berpengaruh besar pada proses pembelajaran.
5. Bidang Studi PAI
Suatu bidang studi sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan pengajaran atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Berdasarkan definisi istilah-istilah di atas, maka yang dimaksud dengan "UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR ANAK DISLEKSIA DENGAN PENDEKATAN SAVI PADA BIDANG STUDI PAI DI SDN X" adalah suatu usaha guru PAI dalam meningkatkan kemampuan belajar pada anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) dengan pendekatan SAVI untuk mencapai hasil yang optimal di SDN X.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terhadap penelitian.
1. Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Deskriptif adalah catatan yang menyajikan rincian kajian daripada ringkasan dan bukan evaluasi. Sedangkan metode kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen.
Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologi yang mengutamakan penghayatan. Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa, interaksi, tingkah laku manusia dalam situasi tertentu perspektif atau pandangan penelitian sendiri.
Responden dalam penelitian kualitatif berkembang secara terus menerus dan bertujuan sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis/ lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
2. Sumber data
Adalah subyek darimana data dapat diperoleh. Adapun sumber data penelitian sesuai dengan cara memperolehnya dibagi menjadi dua, yaitu : a. Data primer : data langsung yang dikumpulkan oleh dari sumber pertamanya.
Adapun data dari penelitian ini adalah semua komponen yang terlibat atau data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui observasi, interview dari guru PAI, catatan serta dokumen yang diperoleh dari sekolah SDN X.
b. Data sekunder : data yang dikumpulkan oleh sebagai penunjang dari sumber pertama.
Berkaitan dengan topik pembahasan. Adapun yang dimaksud dengan subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah siswa penderita disleksia. oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif ini tidak ada sampel acak tetapi sampel bertujuan (purposive sampling). Teknik ini digunakan apabila anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan penelitiannya. Yang dimaksud sampel bertujuan adalah sampel yang dipilih dengan cermat sesuai dengan desain penelitian.
Maksudnya dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel berdasarkan tujuan tertentu, sehingga yang dijadikan sampel adalah mereka-mereka yang berkomitmen dan terlibat langsung dalam menangani anak penderita disleksia yang meliputi guru agama, kepala sekolah dan guru-guru yang lain.
Mengenai jumlah dan banyaknya sampel yang diambil dalam penelitian ini tidak ditetapkan secara kuantitatif, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan informasi yang diperlukan, peneliti berusaha menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber yang relevan dengan jenis data yang dibutuhkan dan penarikan sampel dihentikan jika terjadi pengulangan informasi.
3. Teknik pengumpulan data
a. Observasi
Yaitu suatu cara pengambilan data melalui pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki secara langsung ataupun tidak langsung.
Teknik ini digunakan penulis untuk mengetahui secara langsung gambaran utuh tentang proses pembelajaran PAI pada anak Disleksia, bagaimana kemampuan belajar anak disleksia, serta bagaimana usaha seorang guru dalam meningkatkan kemampuan belajar anak disleksia dengan pendekatan SAVI pada proses pembelajaran PAI.
Selain itu juga teknik ini juga penulis gunakan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya sekolah SDN X, letak geografisnya, dan lain sebagainya.
b. Interview
Adalah suatu proses tanya jawab yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka atau mendengar secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.
Sebagai informan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru bidang studi Pendidikan Agama Islam, wali kelas I dan ibu wali murid kelas I SDN X.
Teknik ini penulis gunakan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana kemampuan belajar anak disleksia di SDN tersebut, bagaimana implementasi pendekatan SAVI dalam proses pembelajaran PAI serta bagaimana upaya guru dalam meningkatkan kemampuan belajar anak disleksia dengan pendekatan SAVI pada bidang studi PAI di SDN X,
c. Dokumentasi
Adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel atau catatan transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legenda, dan lain-lain.
Teknik ini penulis gunakan untuk memperoleh informasi tentang hasil tes kemampuan membaca siswa kelas I SDN X serta data-data guru yang diperlukan oleh penulis.

F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan seperti yang disarankan oleh data.
Data dalam penelitian ini pada hakikatnya berwujud kata-kata, kalimat atau paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskripsi mengenai peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dan dialami oleh subyek. Berdasarkan wujud dan sifat data tersebut, maka teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik deskriptif.
Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi diolah dan dianalisis melalui beberapa langkah, diantaranya :
1. Reduksi data
Adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari field note. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terinci. Data dalam bentuk laporan tersebut perlu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicari tema atau polanya. Data-data yang dimaksud adalah data yang diperoleh penulis melalui observasi, wawancara dan dokumentasi yang masih berupa tulisan-tulisan yang belum baku atau data mentah. Dimana data-data tersebut direduksi dan dirangkum, dicari hal-hal yang fokus pada materi penelitian yaitu tentang :
a) Bagaimana kemampuan belajar pada anak disleksia di SDN X.
b) Bagaimana implementasi pendekatan SAVI pada proses pembelajaran di SDN X
c) Bagaimana upaya guru PAI dalam meningkatkan kemampuan belajar pada anak disleksia dengan pendekatan SAVI pada bidang studi PAI di SDN X.
2. Display data
Yaitu rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga bila dibaca akan mudah dipahami tentang berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk membuat sesuatu pada analisa atau tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut.
Pada saat merangkum data-data tersebut, hendaknya penulis menggunakan susunan kalimat yang logis dan sistematis agar mudah dibaca dan dipahami. Misalnya, apa itu disleksia, disleksia adalah gangguan belajar membaca yang disebabkan oleh kelainan pada saraf otak.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Tujuan dari awal penelitian adalah berusaha mencari kesimpulan dari permasalahan yang diteliti. Mulai dari mencari pola, tema, hubungan, permasalahan hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya. Dari data tersebut diambil kesimpulan serta memverifikasi data tersebut dengan cara menelusuri kembali data yang telah diperoleh.
Setelah data-data mengenai bagaimana kemampuan anak disleksia, bagaimana implementasi pendekatan SAVI pada proses pembelajaran PAI serta bagaimana upaya guru PAI dalam meningkatkan kemampuan belajar pada anak disleksia dengan pendekatan SAVI dirangkum dan direduksi secara logis dan sistematis, penulis menarik kesimpulan dan memverifikasi data tersebut dengan cara menelusuri kembali data yang diperoleh.

G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini dapat dipahami secara utuh dan berkesinambungan, maka perlu disusun sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II, pada bab ini akan di bahas mengenai kajian teori yang memaparkan tentang : anak disleksia yang meliputi pengertian, ciri-ciri dan macam-macam anak disleksia. Kemudian tiunjauan tentang pendekatan SAVI yang meliputi pengertian, unrur-unsur dan ciri-ciri dari SAVI, serta tinjauan tentang upaya dalam meningkatkan kemampuan belajar PAI pada anak disleksia.
Bab III, pada bab ini dibahas mengenai laporan hasil penelitian yang meliputi : gambaran obyek penelitian (sejarah berdirinya, letak geografisnya, keadaan guru, karyawan dan siswanya), serta penyajian data yang meliputi bagaimana kemampuan belajar anak disleksia, bagaimana implementasi pendekatan SAVI pada proses pembelajaran serta bagaimana upaya meningkatkan kemampuan belajar pada anak disleksia dengan pendekatan SAVI pada bidang studi PAI.
Bab IV, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
SKRIPSI PENGARUH METODE QUICK ON THE DRAW TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIII PADA BIDANG STUDI FIQIH DI SMP X

SKRIPSI PENGARUH METODE QUICK ON THE DRAW TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIII PADA BIDANG STUDI FIQIH DI SMP X

(KODE : PEND-AIS-0058) : SKRIPSI PENGARUH METODE QUICK ON THE DRAW TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VIII PADA BIDANG STUDI FIQIH DI SMP X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan yang diarahkan untuk mengembangkan sumber daya manusia dan pembangunan sector ekonomi. Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas, sedangkan manusia yang berkualitas dilihat dari segi pendidikan telah dirumuskan secara jelas dalam tujuan pendidikan nasional. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang system pendidikan nasional UU No. 20 tahun 2003 (2003 : 56) sebagai berikut :
"Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi pesera didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Pemerintah bertanggung jawab atas diselenggarakannya suatu pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan suatu pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat. Berbagai perangkat perundang-undangan dan peraturan lain sudah dibuat oleh pemerintah.
Dari segi penyelengaraan pendidikan. Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai perangkat peraturan dan perundang-undangan yang boleh dikatakan memadai. Namun sebenarnya belum cukup untuk menghasilkan sumber daya insani.
Masalah pemerataan, relevansi dan kualitas pendidikan masih tetap merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan secara tuntas. Harus diakui bahwa kualitas sumber daya manusia saat ini masih memprihatinkan sehingga perlu adanya peningkatan mutu belajar mengajar. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari pendekatan dalam proses belajar mengajar. Karena baik tidaknya hasil belajar dapat dilihat dari mutu lulusan. Proses belajar mengajar dikatakan berhasil apabila ada interaksi antar komponen pendidikan.
Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia. Pendidikan dalam prakteknya berkaitan erat dengan belajar yaitu kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat mendasar dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa. Guru juga mempunyai peranan penting untuk menentukan keberhasilan pendidikan, karena guru harus bisa membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar.
Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Lembaga pendidikan dituntut untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga perlu diterapkan suatu metode pencapaian kualitas pembelajaran yang dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan dan juga melalui individu seorang guru.
Dan Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu hasil yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut malalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang telah berkualitas, antara lain melalui pembangunan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, serta penelitian bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada skala mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab professional seorang dosen atau guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada skala makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggung jawaab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang memberikan konstribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran antara lain adalah : guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar, dan sistem. Guru yang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan; dengan kata lain, siswa tidak diberi peluang untuk berpikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir di bidangnya (state of the art) dan kemugkinan perkembangan yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memberi contoh-contoh yang kontekstual, metode penyampaian bersifat monoton, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal.
Guru (pendidik) merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran, karena guru yang akan berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Melalui guru pula ilmu pengetahuan dapat ditransferkan. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Yang dimaksud sebagai peran adalah pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari pekerjaan atau jabatan tertentu. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan. Dengan kata lain : guru harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.
Proses pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia selama ini sebagian besar masih bersifat konvensional yang terpusat pada metode ceramah sehingga hanya mengoptimalkan keaktifan dan kemampuan utama guru. Pembelajaran dengan sistem ini memposisikan siswa sebagai obyek belajar yang pasif, hanya berperan sebagai penerima bahan ajar dan bukan subyek yang aktif dan berperan utuh dalam proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran hanya satu arah. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi membosankan dan siswa tidak dapat mengembangkan keterampilan dan life skill-nya.
Guru sebagai pembimbing dalam proses kegiatan belajar mengajar harus memiliki metode pembelajaran yang tepat. Sebab pada pendidikan formal semua bidang pendidikan dan bidang studi harus memanfaatkan dasar mental pada tiap anak. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mental pada tiap anak. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mental kearah kematangan dan kedewasaan dalam arti seluas-luasnya secara terarah dan teratur.
Pendidikan dengan segala perangkatnya harus memiliki wawasan ke hari mendatang. Maka dari itu guru harus pintar-pintar dalam menyesuaikan materi pelajaran dengan metode-metode yang akan dipakai. Sehingga akan tercipta suasana belajar yang efektif dan tidak monoton. Karena metode yang monoton dalam mengajar menjadikan peserta didik tertekan dan seakan ingin lari dari kelasnya.
Hal-hal tersebut di atas, menuntut lembaga pendidikan untuk terus berusaha meningkatkan kualitas pembelajaran dan proses penyelenggaraan pendidikan. Perlu diterapkan suatu metode untuk pencapaian kualitas pembelajaran yang lebih baik di lembaga pendidikan.
Penggunaan metode pembalajaran yang bervariasi dan diseuaikan dengan karakteristik konsep yang akan diajarkan adalah salah satu cara agar pembelajaran lebih efektif. Guru juga harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas dalam hal pemilihan dan pengunaan metode pembelajaran. Hal ini disebabakan dalam proses belajar mengajar, tidak semua siswa mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama dan pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan berbeda-beda, ada yang cepat, ada yang sedang dan ada yang lamban.
Berlatar belakang dari permasalahan yang terjadi di atas, peneliti mencoba untuk melakukan Penelitian eksperimen dengan menerapkan metode quick on the draw. Strategi pembelajaran ini menuntut para aktif setiap siswa dalam proses pembelajaran, dimana siswa akan belajar dalam tim dan mengembangkan kerjasamanya di dalam tim tersebut. Keberhasilan tim adalah tanggung jawab setiap siswa yang menjadi anggota di dalamnya, maka partisipasi dan kekompakan seluruh anggota sangat dibutuhkan untuk keberhasilan tim.
Quick on the draw adalah sebuah metode yang didalamnya melakukan sebuah aktivitas riset dengan insentif bawaan untuk kerja tim dan kecepatan. Aktivitas ini mendorong kerja kelompok semakin efisien kerja kelompok, semakin cepat kemajuannya. Kelompok dapat belajar bahwa pembagian tugas lebih produktif daripada menduplikasi tugas.
Metode ini memberikan pengalaman mengenai tentang macam-macam keterampilan membaca, yang didorong oleh kecepatan aktivitas, ditambah belajar mandiri dan kecakapan ujian yang lain membaca pertanyaan dengan hati-hati, menjawab pertanyaan dengan tepat, membedakan materi yang penting dan yang tidak. Kegiatan ini membantu siswa untuk membiasakan diri mendasarkan belajar pada sumber bukan guru.
Peneliti yakin dengan metode pembelajaran yang divariasi dan dimodifikasi akan memicu kreatifitas dan potensi krirtis siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Dengan pembelajaran yang demikian, siswa akan mendapatkan pembelajaran yang bermakna yang menyenangkan, sehingga mereka terlepas dari perasaan bosan dan beban untuk mempelajari sekian banyak materi seperti yang sering dihadapi siswa jika pemebelajaran yang disampaikan bersifat mononton dan text book oriented.
Dengan pemilihan metode pembelajaran yang tepat selanjutnya diharapkan berpengaruh terhadap kemajuan prestasi belajar siswa. Sebagai hasil proses dari belajar mengajar, prestasi yang berhasil dicapai siswa tercermin dalam hasil evaluasi dan nilai rapor yang diperoleh siswa tiap semester. Setiap siswa diberikan pelayanan yang sama dalam proses belajar mengajar, akan tetapi hasilnya belum tentu sama antara satu anak dengan anak yang lain.
Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh melalui usaha belajar. Setiap kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan tentunya mengharapkan prestasi belajar yang baik dan optimal. Keberhasilan belajar siswa tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Selain pemilihan metode yang tepat oleh guru, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa sehingga diharapkan masalah-masalah di atas bisa terpecahkan, yaitu pemilihan metode yang tepat dan juga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan juga faktor eksternal. W.S. Winkel mengemukakan :
Faktor yang berasal dari dalam diri individu meliputi faktor psikis seperti intelegensi, motivasi, sikap, minat, dan kebiasaan belajar, sedang faktor yang bersasal dari luar diri individu yaitu pengaruh proses belajar di sekolah seperti kurikulum, failitas belajar, disiplin sekolah dan guru. Faktor sosial seperti status sosial ekonomi, interaksi guru dan siswa dan faktor situasionl seperti keadaan iklim, waktu dan tempat.
Proses pembelajaran atau belajar yang dilaksanakan pada akhrinya akan terdapat hasil pembelajaran atau yang disebut dengan prestasi belajar siswa. Prestasi belajar adalah pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dalam rangkan memperbaiki mutu pembelajaran dan mencapai tujuan pendidikan yang meliputi keberhasilan baik ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik, lemaga pendidikan sering terbentur permasalahan yang muncul, permasalahan-permaslahan yang dihadapi di SMP X diantaranya :
1. Guru belum maksimal memerankan fungsinya sebagai pemimpin, fasilitator, pembimbing, dinamisator maupun motivator.
2. Sebagian besar siswa beranggapan bahwa mata pelajaran fiqih adalah mata pelajaran yang membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi.
3. Proses pembelajaran yang dilakukan masih terpusat pada metode konvensional yang satu arah dan cenderung Text Book Orionted.
4. Masih rendahnya keaktifan dan partisipasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran fiqih.
5. Masih rendahnya pemahaman siswa dilihat dari ulangan harian pada materi sebelumnya.
6. Masih kurang dikembangannya startegi dan metode pembelajaran yang mengikutsertakan partisipasi aktif siswa.

C. Rumusan Masalah
Untuk menghindari masalah yang terlalu umum dalam skripsi ini, maka penulis rumuskan permasalahan yang ada agar permasalahan tersebut lebih terfokus terhadap tema isi skripsi ini. Adapun rumusan masalah tersebut sebagi berikut :
1. Bagaimana aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan menggunanan metode quick on the draw di SMP X?
2. Bagaimana aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan metode quick on the draw di SMP X?
3. Bagaimana prestasi belajar siswa selama proses pembelajaran denagan menggunakan metode quick on the draw pada mata pelajaran Fiqih SMP X?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui :
1. Penggunaan metode quick on the draw di SMP X.
2. Prestasi siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan metode quick on the draw di SMP X.
3. Untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan metode quick on the draw terhadap peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Fiqih di SMP X.

E. Manfaat Penelitian
Ada beberapa nilai guna yang dapat diambil dari hasil penelitian ini, antara lain :
1. Bidang Akademik
Dalam kaitanya dengan penelitian ini maka manfaat akademik ilmiahnya adalah diharapkan hasil penelitian tersebut dapat menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan Islam.
2. Bidang Sosial Praktis
Maksudnya adalah bahwa penelitian ini diharapkan :
a. Bagi sekolah bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus sumbangan pemikiran dalam usaha mengefektifkan pembelajaran Fiqih dalam metode quick on the draw sehingga salah satu metode pembelajaran di SMP X.
b. Bagi guru agama, dapat memberikan masukan dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dengan mengembangkan metode pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran Fiqih agar lebih bermakna, efektif, dan efisien.
c. Bagi siswa, untuk meningkakan motivasi dan prestasi belajar siswa melalui pembelajaran yang aktif, menarik dan tercapainya keseimbangan intelektual dan keterampilan praktis.
d. Bagi peneliti sebagai calon guru, dapat memberikan pengalaman dalam penggunaan strategi pembelajaran sehingga hasil yang telah dicapai lebih efektif dan efisien.

F. Batasan Masalah
Agar masalah penelitian ini terfokus, maka perlu adanya batasan, dalam penelitian ini, pembahasan hanya dibatasi pada :
1. Aktivitas guru selama penggunaan metode quick on the draw.
2. Aktivitas siswa selama penggunaan metode quick on the draw.
3. Prestasi belajar siswa selama penggunaan metode quick on the draw.

G. Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti malalui data yang terkumpul. Hal ini berarti bahwa dia akan ditolak jika salah dan diterima jika fakta-fakta membenarkan. Berkaitan dengan ini penulis mempergunakan hipotesis kerja sebagai kesimpulan sementara, yaitu dengan rumusan sebagai berikut :
1. Hipotesis kerja atau Hipotesis Alternatif (Ha)
Yaitu hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara variable x dan y (independent dan dependent variable). Jadi hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian ini adalah : "Ada pengaruh metode quick on the draw terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Fiqih di SMP X."
2. Hipotesis Nihil atau Hipotesis Nol (Ho)
Yaitu hipotesis yang menekankan tidak adanya hubungan antara variable x dan y (independent dan dependent variable). Jadi hipotesis nihil (Ho) dalam penelitian ini adalah : "Tidak ada pengaruh metode quick on the draw terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Fiqih di SMP X".

H. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian
1. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atau sifat-sifat hal yang didefenisikan yang dapat diamati atau diobservasikan. Konsep ini sangat penting karena hal yang diamati itu membuka kemungkinan bagi orang lain untuk melakukan hal serupa. Sehingga apa yang dilakukan oleh penulis terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain.
Dan untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman dalam mengartikan judul skripsi ini penulis akan uraikan maksud judul tersebut :
a. Pengaruh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah daya yang timbul dari sesuatu, yaitu metode quick on the draw terhadap peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Fiqih di SMP X.
b. Metode quick on the draw : Suatu metode mengajar yang bersifat kerja kelompok dan menonjolkan pada daya kecepatan aktivitas, diantaranya berpikir, membaca, berbicara, menulis dan menjawab pertanyaan.
c. Prestasi belajar fiqih adalah hasil penguasaan siswa terhadap materi pelajaran Fiqih yang telah dipelajari dalam bentuk tes. Prestasi belajar dalam hal ini hasil belajar meliputi, tiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
d. Siswa : Peserta didik yang masih menempuh pendidikan di tingkat SD/SMP/SMA atau belum menempuh pendidikan kuliah.
Dari definisi di atas, maka dapat penulis tegaskan bahwa maksud dari judul pengaruh metode quick on the draw terhadap peningkatan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran fiqih adalah bertujuan untuk mencapai suatu keinginan yang lebih baik dari sebelumnya dalam memotivasi belajar siswa pada mata pelajarn fiqih yang merupakan bagian dari langkah untuk mempermudah mengakses pelajaran yang disampaikan tersebut.
2. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang bervariasi, sedangkan gejala merupakan objek penelitian, berarti variabel adalah objek penelitian yang bervariasi. Adapun variabel atau apa yang menjadi titik perhatian dalam skripsi ini, ada dua variabel yaitu :
a. Variabel Bebas (Independent) : Metode quick on the draw
b. Variabel Terikat (Dependent) : Prestasi belajar siswa

I. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah dan jelas serta dapat dimengerti, maka di dalam skripsi ini secara garis besar akan penulis uraikan pembahasan pada masing-masing bab berikut ini :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari 1) latar belakang masalah 2) rumusan masalah 3) tujuan penelitian 4) kegunaan penelitian 5) Hipotesis penelitian 6) definisi operasional 7) batasan masalah 8) sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan bab kajian pustaka, yang berisi tentang 1) kajian teori tentang metode quick on the draw yang membahas tentang pengertian metode quick on the draw, tujuan dan manfaat metode quick on the draw, langkah-langkah metode quick on the draw, komponen pendukung metode quick on the draw, teknik penyampaian metode quick on the draw, dan kelebihan serta kelemahannya. 2) kajian teori tentang prestasi belajar, yang berisi tentang : pengertian prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, jenis-jenis prestasi belajar, ragam tes prestasi belajar, dan mengukur prestasi belajar fiqih 3) tinjauan tentang pembelajaran fiqih, yang berisi tentang : pengertian tentang pembelajaran fiqih, tujuan pembelajaran fiqih, ruang lingkup fiqih, fungsi pembelajaran fiqih, materi pembelajarn fiqih, dan metode-metode pembelajarn fiqih. 4) kajian teori tentang pengaruh metode quick on the draw terhadap peningkatan prestasi belajar.
BAB III : Merupakan bab Metode Penelitian, yang berisi tentang 1) identifikasi variabel; 2) jenis dan pendekatan penelitian; 3) rancangan penelitian; 4) populasi dan sampel; 5) jenis data dan sumber data : 6) metode pengumpulan data dan; 7) teknik analisis data.
BAB IV : Merupakan bab tentang Hasil Penelitian, yang berisi tentang 1) gambaran umum objek penelitian. 2) deskripsi data; 3) analisis data dan pengujian hipotesis.
BAB V : Merupakan bab yang membahas tentang pembahasan dan diskusi hasil penelitian.
BAB VI : Merupakan bab terakhir yang berisi tentang : 1) simpulan; 2) saran.
SKRIPSI EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION (ATI) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMPN X

SKRIPSI EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION (ATI) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMPN X

(KODE : PEND-AIS-0057) : SKRIPSI EFEKTIFITAS MODEL PEMBELAJARAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION (ATI) DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA DI SMPN X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sehingga di Indonesia, pendidikan diatur dalam Undang-Undang tersendiri mengenai sistem pendidikan Nasional yang berbunyi : "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan dalam kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Masalah pokok pendidikan di Indonesia saat ini masih berkisar pada soal pemerataan kesempatan, relevansi, kualitas efisiensi dan efektifitas pendidikan sesuai dengan masalah pokok tersebut serta memperhatikan isu dan tantangan masa kini dan kecenderungan di masa depan, maka dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mengatasi persoalan dan menghadapi tantangan itu, perlu diciptakan pendidikan yang unggul yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan potensi dan kapasitas siswa secara optimal. Berkenaan dengan hal itu, pemerintah telah menetapkan tiga strategi pokok pembangunan pada sektor pendidikan, yaitu : (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan, dan (3) peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Salah satu indikasi peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari adanya peningkatan potensi akademik atau hasil belajar siswa secara keseluruhan yang meliputi tiga aspek, yaitu : kognitif, berupa pengembangan pendidikan termasuk didalamnya fungsi ingatan dan kecerdasan, Afektif, berupa pembentukan sikap termasuk didalamnya fungsi perasaan dan sikap, psikomotorik, berupa keterampilan termasuk didalamnya fungsi kehendak, kemauan, dan tingkah laku. Maka dalam rangka upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dan tercapainya tujuan pendidikan nasional, ketiga aspek tersebut harus diperhatikan sehingga proses belajar mengajar tidak hanya menekankan pada pemahaman siswa tetapi juga menerapkan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar proses transformasi pengetahuan.
Dewasa ini berdasarkan pengamatan Arief Rahman, MPd, salah seorang pengamat dunia pendidikan yang juga menjabat sebagai Executive National Commision untuk lembaga PBB UNESCO menyatakan bahwa masih dirasakan bahwa model atau pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru-guru di sekolah lebih didasarkan pada kebutuhan formal dari pada kebutuhan riil siswa.
Akibatnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru tersebut terkesan lebih merupakan pekerjaan administratif, dan belum berperan dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal. Kondisi pembelajaran seperti ini agaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai kurikulum dan pengajaran sangatlah kompleks dan sulit, karena ia berhadapan dengan dua hal yang berada diluar kontrolnya, yaitu pedoman pelaksanaan kurikulum, dimana sistem kurikulum Indonesia masih belum bisa menyesuaikan dengan apa yang mau dihasilkan dari sistem pendidikan itu sendiri yaitu as a workforce dan pengajaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu dari atas, dan siswa yang membawa beragam kemampuan, entry behaviour dan karakteristik lainya ke dalam situasi pembelajaran.
Brenda Watson dalam bukunya "Education and Belief" menyebutkan beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education. Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kualitas kinerja guru, terutama dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini dibenarkan oleh Nana Syaodih Sukmadinata yang menyatakan bahwa "Masalah tinggal kelas dan putus sekolah dapat dipandang sebagai salah satu kegagalan sekolah khsususnya guru dalam menciptakan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa mengusai pelajaran secara optimal".
Di sisi lain, model pembelajaran yang diimplementasikan di sekolah-sekolah saat ini pada umumnya masih bersifat konvensional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti, mahasiswa S2 jurusan Teknologi Pendidikan yang meneliti tentang "Perbedaan Prestasi Belajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Induktif dan Model Pembelajaran Konvensional Siswa SMP Negeri Bandar Lampung" menyatakan, bahwa model pembelajaran konvensional belum mampu menjadikan semua siswa di kelas bisa menguasai kompetensi minimal yang telah ditetapkan, terutama siswa yang berkemampuan rendah. Di samping itu, siswa yang memiliki kemampuan belajar tinggi, juga belum memperoleh layanan pembelajaran yang optimal dalam pembelajaran konvensional. Bermunculannya sekolah-sekolah unggul di beberapa kota besar, merupakan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan saat ini belum memberikan perhatian yang cukup besar terhadap siswa yang memiliki kemampuan rendah (lambat) dan juga siswa yang berkemampuan tinggi (cepat).
Menurut beberapa pakar pendidikan model pembelajaran dikembangkan dewasa ini kelihatan masih belum peduli dan bahkan belum mampu mengapresiasi serta mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa, berarti di dalam melaksanakan proses belajar mengajar guru memberikan layanan pembelajaran yang sama untuk semua siswa, baik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang ataupun rendah. Dengan perlakuan demikian, siswa yang berbeda kecepatan belajarnya belum mendapatkan layanan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Siswa yang lambat tetap saja tertinggal dari kelompok sedang. Sementara siswa yang cepat belum mendapatkan layanan yang optimal dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas cenderung belum bisa mendorong mereka maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Salah satu prinsip atau asas mengajar menekankan pentingya "Individualitas ", yaitu menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa.
Di sisi lain, hasil penelitian Dwi Nugroho Hidayanto menemukan "Fenomena rendahnya mutu pembelajaran disebabkan oleh sikap spekulatif dan intuitif guru dalam memilih metode dan strategi pembelajaran...". Karena itu ia menyatakan bahwa "peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, dan peningkatan kualitas pembelajaran dapat ditempuh dengan meningkatkan pengetahuan tentang merancang metode-metode pembelajaran yang lebih efektif, efisien, dan memiliki daya tarik". Hal ini menunjukkan, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan bukanlah permasalahan yang sederhana, tapi merupakan permasalahan yang kompleks dan saling berkaitan dengan kualitas pembelajaran serta mutu guru.
Fenomena yang digambarkan diatas, baik yang menyangkut rendahnya kualitas prestasi akademik atau hasil belajar siswa maupun layanan pembelajaran yang belum dapat mengapresiasi dan mengakomodasi perbedaan individual (aptitude) siswa merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Maka dari permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang sejauhmana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

B. Identifikasi Variabel dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian, harus ada dua variabel :
a. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel yang keberadaannya tidak terikat dengan variabel yang lain. Variabel ini juga disebut variabel bebas dan diberi simbol X. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel X adalah model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
b. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang keberadaannya terikat dengan variabel yang lain. Variabel ini diberi simbol Y. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel Y adalah prestasi belajar siswa.
2. Rumusan Masalah
Bertolak dari pemikiran di atas, maka permasalahan yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X?
b. Bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X?
c. Sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X ?

C. Definisi Operasional
Agar diperoleh gambaran yang jelas tentang judul tersebut, dan untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul skripsi tersebut, maka penulis akan memberi pengertian yang jelas atas beberapa istilah yang terkandung dalam judul tersebut, antara lain :
1. Efektifitas adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab atau perbuatan; akibat; dampak. Dalam skripsi ini yang dimaksud efektifitas adalah pengaruh model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
2. Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) adalah suatu konsep atau pendekatan yang memiliki sejumlah strategi pembelajaran (treatment) yang efektif digunakan untuk individu tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3. Prestasi belajar siswa adalah penguasaan dan perubahan tingkah laku setelah dilaksanakannya proses pembelajaran yang diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka. Dalam hal ini hasil belajar siswa dilihat dari hasil nilai post test (tes akhir) yang dilakukan setelah proses pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
Dari rangkaian istilah yang ada pada judul di atas dapatlah dimengerti maksud penulis adalah sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.

D. Alasan Pemilihan Judul
Tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya perbedaan kemampuan (aptitude) siswa, proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kemampuan tinggi dan ada yang berkemampuan rendah atau pun sedang. Oleh karena itu, untuk mengakomodasi dan mengapresiasi perbedaan individual siswa dalam pembelajaran dalam rangka mengoptimalkan prestasi belajar dibutuhkan cara atau pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan kemampuan siswa, yaitu melalui pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
Maka penulis berinisiatif untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan (efektifitas) model pembelajaran ATI dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta kemudian merumuskan judul permasalahan itu sebagai berikut :
"Efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X".

E. Tujuan dan Signifikansi penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X.
b. Untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMPN X.
c. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
2. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai :
a. Menemukan pemikiran tentang implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) sekaligus untuk memperkaya wawasan dalam bidang penggunaan model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).
b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi sekolah dalam menentukan langkah meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan sebagai bahan masukan bagi guru terutama guru Pendidikan Agama Islam SMPN X.
c. Sebagai bahan masukan pengetahuan khususnya dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam yang ideal melalui pendekatan pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI).

F. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Menurut Suharsimi, ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian :
1. Hipotesis Kerja atau yang disebut dengan hipotesis alternatif, disingkat Ha. Hipotesis ini menyatakan adanya hubungan antara variabel x dan variabel y atau adanya perbedaan antar kelompok.
2. Hipotesis Nol, disingkat Ho. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel x terhadap variabel y.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
a. Hipotesis Kerja (Ha) yang berbunyi;
Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.
b. Hipotesis nol (Ho) yang berbunyi :
Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) tidak efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN X.

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian dengan menggunakan pendekatan eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat.
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen atau eksperimen murni dan sering kali disebut dengan istilah true experiment. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti kemungkinan adanya hubungan sebab akibat diantara variabel-variabel dengan cara menghadapkan kelompok eksperimen pada beberapa macam kondisi perlakuan dan membandingkan akibat (hasilnya) dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
2. Lokasi Penelitian
SMPN X sebagai lokasi penelitiannya dengan alasan yakni letaknya sangat strategis terutama bagi siswa yang berada di perumahan maupun siswa yang berkendaraan bagi siswa yang rumahnya jauh. SMPN X berdiri di atas lahan seluas ± 5435 m.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Untuk memperoleh data yang valid maka diperlukan adanya populasi terhadap obyek yang diteliti, sebab tanpa adanya populasi penelitian akan mengalami kesulitan dalam mengolah data.
Menurut Sugiono, populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Riduwan, mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi obyek penelitian. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Populasi merupakan obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMPN X, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN X yang berjumlah 273 siswa terdiri dari 7 kelas paralel.
b. Sampel
Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Sugiyono, memberikan pengertian sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. "Untuk sekedar ancer-ancer, maka apabila subyeknya kurang dari 100,lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15%, atau 20%-25% atau lebih".
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti.
Adapun dalam penelitian ini penulis melakukan teknik pengambilan sampel dengan cara sampel acak (random sampling), merupakan teknik pengambilan sampel dengan cara "mencampur" subyek-subyek dalam populasi sehingga semua subyek dalam populasi dianggap sama. Dengan demikian setiap subyek memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN X yang berjumlah 273 siswa yang terdiri dari 7 kelas paralel. Sedangkan sampel dalam penelitian ini dipilih 2 kelas dari 7 kelas yang ada, 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol. Adapun data penelitian ini penulis menggunakan cara undian, yaitu dengan cara membuat daftar seluruh kelas VII. Mulai dari kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, VII F, DAN VII G. Setelah itu membuat lembar kertas kecil-kecil kemudian digulung baik-baik. Setelah itu gulungan kertas tersebut dimasukkan ke dalam kaleng atau kotak, lalu dikocok. Dengan tanpa prasangka diambil dua gulungan. Dari kedua kelas tersebut, yang terpilih sebagai kelas eksperimen adalah kelas VII E sebanyak 36 siswa yang mendapat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). Sedangkan kelas kontrol adalah kelas VII C sebanyak 35 siswa yang tidak mendapatkan pembelajaran ATI.

H. Sistematika Pembahasan
Bab I : Membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, alasan pemilihan judul, tujuan dan signifikansi penelitian, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Membahas tentang kajian teori yang berisi hakikat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) yang meliputi definisi pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI), pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, dan macam-macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa. Tinjauan prestasi belajar yang meliputi pengertian prestasi belajar, jenis-jenis prestasi belajar, fungsi utama prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar.
Bab III : Membahas tentang laporan hasil penelitian yang berisi gambaran umum obyek penelitian, yang meliputi sejarah berdirinya SMPN X, letak geografis SMPN X, struktur organisasi SMPN X, keadaan guru dan karyawan. Analisis deskriptif hasil penelitian, yang meliputi analisis data pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, analisis data macam-macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa, dan analisis data prestasi belajar siswa. Analisis data statistika yang meliputi (Uji normalitas, uji homogenitas dua variansi dan uji-T).
Bab IV : Membahas penutup yang meliputi kesimpulan, kritik dan saran.